NAPAS KANVAS ANDREAS I

NAPAS KANVAS ANDREAS I
*Klaudius Marsianus Juwandy
Bukan Andreas



 “lukisan ini begitu indah, ada kesedihan yang  tergambar di dalamnya” suara lelaki bertopi dan berbada kerdil itu
Malam ini adalah malam pertunjukan seni di kota kecil ini. Malam untuk memamerkan karya-karya seni dari seniman kota ini. Kota yang selalu di juluki sebagai kota dingin dan kota 1000 gereja.
Gedung berukurang besar itu nampaknya telah cukup menampung semua penikmat seni yang ingin melihat karya seni dari putra -putri Manggarai.
“lukisannya memang bagus, bahkan semua lukisannya selalu diburu orang banyak. Tapi sayang lukisannya tidak seindah hidupnya” suara lelaki itu tenang
“maaf, Bapa siapa? Sepertinya bapa banyak mengetahui seniman pemilik lukisan ini. Perkenalkan, saya Robertus, mahasiswa semester  7 di Santu Paulus” suara Robertus sambil menjabat tangan lelaki itu
“saya Oktavianus,  saya penikmat seni, ada beberapa yang saya ketahui dari pemilik lukisan ini termasuk kisah sedih di balik lukisan indah ini” suara Oktavianus sambil merapatkan jaket dan rokok seperti telah mendarah dengan mulut
Semua lukisan yang dia buat selalu menjadi rebutan di kota kecil  ini. Setiap hari kerjanya hanya sibuk melukis, melukis dan melukis.
Lukis menjadi kekasihnya sejak dia berumur 9 tahun.  Sejak kecil dia telah banyak mengikuti lomba melukis dan selalu mendapat juara 1. Baginya kanvas dan tinta adalah sahabat yang paling mengerti dengannya. Harinya begitu sepih, tak ada yang mau berteman dengannya atau bekomunikasi dengannya. Para pembeli memang banyak tapi tak satu kata pun dia keluarkan untuk mengucap salam atau menyapa para pembeli.
Dia hanya memberitahukan semua keinginan dan pikiran lewat pengumuman di depan pintu rumahnya. Mulai dari harga hingga jumlah lukisan yang akan di buat selama satu bulan.
“dia seorang bisu, orang tuanya, kekasihnya dimana?” tanya  Robertus sambil berjalan mengikuti Oktavianus
Dia sebatang kara, kedua orang tuannya bercerai saat dia masih kecil.  Seorang wanita tua yang tak lain adalah buarawati di salah satu biara mengajaknya untuk tiggal bersama mereka. Disana, dia disekolahkan dan di urus layaknya anak kandung. Ayah ibunya entak kemana, tak peduli akan hidupnya.
Hingga pada suat hari, di sudut biara dia menemukan peralatan melukis dan hatinya tergerak untuk menggambar sesuatu.
“siapa yang kamu gambar” tanya Suster Bergita
Dia tidak menjawab dan hanya menatap suster
“Ayah dan Ibumu” tanya suster lagi
Dai hanya mengangguk dan perlahan air matanya jatuh membasahi bumi. Suster yang berhati ibu pun memeluk dan memberikan penguatan untuknya.
Mulai saat itu suster merawat kemampuanya, membelikan segala kebutuhan untuk melukis dan selalu memamerkan karya yan dibuatnya. Kadang pasangan suami istri yang tak dikaruniai anak ingin sekali mengadopsinya tetapi di selalu kabur dan kembali ke biara.
Hingga pada suatu hari, saat dirinya telah beranjak dewasa, dia memutuskan untuk pergi meninggalkan baiara dan hanya meninggal secarik kertas.
“kenapa dia tak mau bicara” tanya Robertus penasaran
“Dasar bocah, kamu mau tahu kenapa dia memutuskan untuk tidak berbicara, baiklah akan saya ceritakan” kata Oktavianus santai sambil mengambil sebatang rokok
‘kenapa harus merokok” tanya robertus sambil sibuk mencatat
“kamu banyak tanya,  sama seperti pcaran saja, bau pacaran 3 bulan tapi perhatiannya melebihi kedua orang tua,. Ketika putus bijaknya bukan main” kata Otavianus sambil menghisap sebatang rokok. Hisapnya menggambarkan betapa nikmatnya kepulan asap yang keluar dari mulut
“sudahlah untuk apa kita membahas rokok, bukankan selera adalah hal yang tidak bisa diperdebatkan. Kita lanjutkan saja cerita tentang pelukis itu” kata Oktavianus lanjut
Sejak ditinggal oleh kedua orang tuanya, dia memutuskan tak mau berbicara. Baginya di dunia ini terlalu banyak orang yang berbicara tanpa peduli apakah ada yang mendengar atau tidak. Baginya menusia tidak lebih dari mahluk yang memiliki ego tinggi, memanfaatkan manusia lain untuk kepentingan pribadi atau saling menjatuhkan sesama bahkan satu keluarga sampai ada yang bermusuhan. Baginya diam adalah emas karena berkilau dari yang lain. Diam baginya adalah ibadah kerena selalu mendengar perkataan orang lain. Diam baginya adalah patuh karena tak melawan.
Tapi kebisuannya hilang sesaat saat usianya menginjak 25 tahun.
“Kamu tahu kenapa dia tiba-tiba berbicara” tanya Oktavianus
“Tidak, saya tidak tahu” jawab Robertus dengan raut penasaran
Suatu hai du balan Juni, ya bulan juni. Dia memutuskan untuk tidak menentukan tema lukisannya bulan itu. Dia hanya mau melukis seseorang entah itu laki-laki atau perempuan dan dia hanya membutuhkan sepulih orang. Tidak lebih. baginya aturan adalah hukum dan waktu adalah kepribadian.
Saat itu di suatu senja, dia duduk belakang rumah tempat  dia biasa melukis. Kanfas kosng berada di depannya, cat berada di kiri dan kanangnya. Tak ada yang ingin dilukis, di tangannya hanya ada segelas kopi dan sebatang rokok.
Tiba-tiba keheningan sore itu berubah menjadi keributan saat seorang wanita cantik mencarinya. Seuluruh isi rumah menjadi ramai tak seperti biasanya.
Akhirnya dia pun memutuskan untuk menemui gadis itu. Tanpa kata dan hanya tatapan dari mata ke mata
“aku ingin di lukis” kata gadis itu. Tapi dia hanya menggelengkan kepala. ‘tolonglah, aku ngin dilukis” pinta gadis itu tapi tetap saja dia hanya menjawabnya dengan mengelengkan kepala. Semua permintaan gadis itu hany dibalan sengan anggukan atu gelengan. Karena keinginan yang begitu kuat kahirnya gadis itu memutuskan untuk menunggunya di tempat dia biasa melukis.
Malam bertambah malam, dan gadis itu tetpa menungu untuk dilukis
“kenapa kamu sangat ingin dilukis” tanyanya mengagetkan gadis itu. Itu adalah kalimat pertama yang dia ucapkan selama hampir 20 tahun.
Malam itu, wanita itu yang tak lain adalah Kristin dilukis olehnya. Lukisan begitu bagus dan sangat mempesona. Itu adalah lukisan pertama yang dia buat untuk seorang wanita dan yang paling bagus.
Dibulan-bulan selanjutnya dia selalu melukis Kristin. Kristin menjadi objeknya yang paling indah untuk dilukis. Kadang dalam beberapa kesempatan, dia melukis Kristin sambil memegang bunga, atau dengan pose setengah telanjang dan setiap hari seperti tak ada habisnya dia menceritakan kecantikan Kristin.
Malam itu tepat di malam Rabu, dia mengajak Kristin untuk melewati malam di sebuah taman. Dia membawakan sesuatu untuk Kristin.
“Ini untukmu” katanya sambil memberikan sebuah lukisan
“lukisan lagi, wah aku sangat menyukainya. Ini kan aku, tapi siapa lelaki yang satu ini?” tanya Kristin
“itu aku, kamu tahu matahari pasti menerangi bumi, yang tak pasti ketika cerah dalam senangnya direnggut rintik hujan . tapi ada hal yang berberbeda dari bibirmu saat pertama kali kusentuh. Bukan soal hawa adam tetapi dalam detik, dunia sempat terhenti dan jantungku tak mau berdenyut ketika kita bersama’ katanya
“maksudnyaapa” tanya  Kristin penasaran
“kamu tahu cinta itu bukan soalketika malam itu bibir kita saling menyentuh, namun ada rasa berbeda pada saat jarak menjauhkan kita. hati bergetar dan mata hanya menatap karena tak ada kata yang lebih menyejukan ketika kita berdua” katanya lanjut
“kamu gila, maksudnya apa, saya makin bingung” tanya Kristin semakin penasaran
“dan pada akhirnya, semua yang ku lukistentangmu akan lebih sempurna ketika engkau mau menjadi kanfasku untuk kehidupanku selanjutnya, maukah engkau menjadi sahabat, kekasih dan istri untukku” tanyanya
Semua diam,malam semakin dingin dan katahanya memangku pada batas bibir
“aku tidak bisa menjawabnya sekarang, beri aku kesempatan satu minggu untuk berpikir” Jawab Kristin kaku
Malam itu itu pun kisah hanya berakhir tanpa pesan. Burung hantu tetpa saja menjelajah malam bersama pasangannya.
Waktu terus berjalan dan kebiasaanya tetpa berlanjut. Dan hari ini kembali dia membuka kesempatan 10 orang untuk menjadi objek lukisanya.
Pagi itu, seorang pemuda datang ke rumahnya. Wajahnya tampan dan penampilannya seperti seorang pegawai pemerintahan.
“selamat pagi, aku ingin di lukis bersama pasangan tetapi kami dalam posisi sedang bercumbu, apakah Anda bisa” kata lelaki itu
“ baiklah, tapi Anda mau bercumbu dengan siapa, kaena saya tidak menyiapkan wanita apalagi Anda saya liat jalan sendirian” katanya sambil tersenyum. Lagi-lagi kopi, rokok dan topi kodok menemaninya pagi itu
“Anda bisa saja, ini pasangan saya” kata lelaki itu sambil menunjuk kearah seorang wanita yang datang
Semua diam, tak ada kata hanya mata yang saling menatap. Hari ini adalah hari Kristrin dan dirinya bertemu untuk mendengar jawaban apakah gadis cantik itu menerima lamarannya. Tapi sepertinya jawban itu datang dengan sendirinya ke rumahnya. Gadis yang datang bersama pasangannya adalah Kristin.
“apa kita bisa memulai kegiatannya” tanya lelaki itu
Dai hanya mengangguk dan tak ada kata lagi terucap. Di hadapanya sepasang kekasih berpose dalam dan saling bercumbu dalam keadaan yang paling romantis.
Bagaimana mungkin dia bisa melukis, sedang gadis pemilik napas kanfasnya menjadi objek lukisannya yang saat ini sedang bercumbu dengan lelaki lain di depan matanya. Baginya itu adalah kisah yan paling menjakitkan dari seorang pelukis. Dia melukis dan terus melukis dan pada kahirnya dia memutuskan untuk kembali membisu dan tanpa kata. Baginya mulut hanya untuk makan dan tangan adalah pencerita yang indah baginya.
“kasian sekali dia, tapi kenapa bapa begitu mengenalnya. Bahkan ak ada satu pun kisah yang bapak tak tahu darinya” tanya Robertus penasaran
Kembali dia merapatkan jeketnya, memperbaiki topi kodoknya dan rokok kembali diisapnya.  Dengan tawa secukupnya sambil meninggalkan Robertus dai hanya berkata “lelaki itu adalah Andreas, yang tak lain adalah ayahku, sampai ketemu lagi di kisah selanjutnya”
*Penulis adalah Mahasiswa STKIP Santu Paulus Ruteng Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami makna lagu "Who You Are" (Jessie J) Dalam Kaitannya Dengan Gaya Hidup Remaja Putri Manggarai

MENGANALISIS MAKNA LAGU PERAHU RETAK DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA

Pengadilan Cinta - Cerpen Karya Rista Damu