SEPOTONG TERANG BULAN DIHARI ULANG TAHUNMU
SEPOTONG TERANG BULAN DIHARI ULANG TAHUNMU
(Klaudius Marsianus Juwandy)*
keindahan yang bernyawa |
Sofia Tersayang,
Ku kirimkan surat ini bersama sepotong terang bulan di
hari ulang tahunmu yang ku beli diperempatan dekat rumahku. Maaf harus
membuatmu kecewa di hari bahagia ini, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa aku
sangat menyayangimu lebih dari segalanya.
Terima kasih karena kamu sudah memilih aku sebagai
orang yang kamu cintai. Aku sangat
berharap pilihanmu adalah jujur.
Aku tahu mungkin aku tidak bisa menjadi pangeran dalam
dongeng yang sering engkau ceritakan padaku saat kita bersama di suatu sore
sambil menikmati senja yang kian redup tersapu gelap.
“kamu tahu, pada akhir kisah, pangeran itu menjemput
permaisurinya dengan kereta kencana” katamu sambil mengambil segelas teh
Pacarku yang paling cantik
Bersama surat ini ku ucapkan selamat ulang tahun untukmu,
gadis yang selalu membuatku tersenyum sendiri di malam hari. Aku tahu kamu
marah padaku lantaran ucapanku tak jadi yang pertama. Bukankah setiap orang
ingin menjadi orang yang pertama untuk pujaan hatinya, tapi maaf aku justru
hadir dipenutup acara ulang tahunmu karena aku ingin menjadi yang terakhir
dalam hidupmu.
Ku kirimkan sepotong terang bulan yang ku bungkus dengan
sebuah doa dan harapan seorang remaja yang masih terlalu alim mengenal cinta,
karena aku ingin memberikanmu yang lebih dari kata-kata dan hadian tetapi
sebuah kisah dan perjuangan seeorang kekasih.
Kamu tahu, terlalu banyak kata yang dikeluarkan oleh
orang-orang hebat di tanah yang tercinta ini dan tidak ada satu pun yang mau
mendengar yang lain. Bukankah itu yang kita sebut egois.
Miliku, Sofia,
Kita lupakan mereka, dan aku yakin sekarang kamu
bertanya-tanya saat membaca suratku ini dan apa arti sepotong terang bulan yang
ku kirim ini untukmu.
Apakah kamu masih ingat, saat setelah ku kecup keningmu di
malam itu, ku ajak engkau berjalan ke
taman kota menikmati dinginnya malam.
Saat itu hanya ada aku dan kamu yag duduk di bangku
panjang. Bola lampu berdiri di samping kita dan burung hantu seperti tak mau
kalah dengan kisah yang kita buat di taman itu. Dari kejauhan nampak rembulan
yang indah memancarakan sinar kejujuran untuk bumi.
Aku ingat, masih sangat ingat, saat engkau mengatakan,
“Tio, bisakah engkau mengambil rembulan itu untukku saat ulang tahunku nanti?”
“ah kamu Sofia, akan kubawakan rembulan di pangkuanmu
nanti’ jawabku saat itu sambil memelukmu erat seerat kata-kata yang ku ucapkan
padamu.
Tapi bukankah begitu dunia romansa kita, menjanjikan hal
yang tak pernah bisa kita buat hanya untuk menyenangkan orang yang kita
sayangi.
Pacarku yang paling cantik,
K kirimkan surat ini bersama sepotong terang bulan
sebagai hadiah di hari ulang tahunmu. Maaf harus memberimu sepotong terang
bulan di hari spesial ini karena aku sudah tak sanggup membawakan rembulan di
pangkuamu.
Kamu mungkin tertawa dengan kado yang kukirimkan ini,
tapi ketahuilah bahwa cintaku begitu mahal kepadamu, tak ada mata uang yang
sanggup membelinya.
Malam itu, saat aku duduk menyendiri di teras rumah. Ku
lihat dari kejahauhan cahaya rembulan begitu indah, merah merona dan dalam
keadaan sempurna. Dari tempat duduk ku raih rembulan itu.
Ku lihat besarnya hanya segenggam tanganku. Perlahan dan
sangat hati-hati ku petik rembulan itu dan dapat dalam genggamanku. Dalam
genggamanku cahaya rembulan begitu dingin tapi tetap indah memancarkan sinar
kemuliaan.
Seketika dunia menjadi gelap, dan cahaya rembulan itu ku
genggam dan menyimpanya di saku celana.
Dari kejauhan aku dengan suara orang-orang marah, “aduh
kenapa gelap sekali ini malam, tidak seperti biasanya, rembulan seperti telah
hilang di curi orang”.
Aku rabah kembali saku celanaku untuk merasakan cahaya
rembulan tapi telah tiada yang tersisa hanya selembar uang Rp.5000. Aku lihat
burung hantu bertengger di pohon bersama rembulan yang telah ku ambil. Burung
hantu itu telah mencuri rembulanku, rembulanmu juga.
‘kembalikan, rembulan itu untuk pacarku” teriakku. Tapi
burung hantu tak menghiraukan ucapanku. Ku lempar dengan batu tapi tak
mengenainya. Dari dahan ke dahan dia bertengger dan saya harus capeh
mengejarnya. Malam itu dia seperti menguji kesabaran dan cintaku untukmu.
Sofia pacarku, kamu tahu saat aku mengejar burung hantu
jehanam itu, aku harus berpisah dengan sendal yang ku pakai saat mengejarnya. Malam itu juga saat aku mengejar
burung hantu, tak sengaja melewati komunitas para Imam. Tiba-tiba aku dikagetkan
oleh suara anjing yang menggonggong dan mengejarku.
Kamu tahu, burung hantu yang mencuri rembulanku tetap
santai di dahan mahoni. Sial, malam yang sial untukku atau untukmu juga.
Hingga pada saat pengejaranku, burung hantu itu akhirnya bertengger
tepat di atas gerobak seorang pedagang di perempatan lampu merah. Dengan sigap
ku tangkap burung hantu itu, ku pikir aku telah mendapatkannya dalam
gengamanku. Namun dengan seketika pula burung itu lenyap di telan malam, mataku
mencarinya kemana-mana namun tak ku dapati jejaknya.
“mau terang bulan Mas?” tanya pedagan itu mengagetkanku.
Aku bingung dengan kejadian malam ini seperti sebuah cerita yang tak pernah
berpihak pada tokoh utama.
Sofia sayang, maaf aku telah menyerah mengejarnya. Aku
berharap rasa putus asa ku ini tidak kau angap sebagai bukti bahwa aku tidak
tulus mencintaimu.
Dari kejauhan aku masih mendengar suara anjing-anjing
sialan itu.
‘ayo mas, makan terang bulan ini. kue ini enak kalau
dimakan malam hari apalagi kalau makan bersama kekasi” kata lelaki tua itu.
Malam semakin malam Sofia, lantas ku berpikir bahwa
sebaiknya ku kirmkan terang bulan ini untukmu karena cahaya rembulan telah
hilang dibawa pergi burung hantu dan lagi pula aku telah lelah mengejarnya.
“aku pesan satu mas, gulanya sedikit saja dan taburi
misis dan tolong panggangya agak lama. Aku ingin terang bulan yang berwara
merah kecoklatan” kataku singkat.
Pacarku yang terbaik,
Sengaja ku kirimkan sepotong terang bulan ini untukmu
karena tak bisa bawakan rembulan di pangkuanmu, aku hanya punya uang Rp5000
untuk membelimu sepotong terang bulan dan kamu tenang saja, rasanya sudah
kutakari dengan sempurna sebab bagaimana manisnya hidup ada ditangan kita
sendiri.
Ruteng, 10 Desember 2017
*penulis adalah mahasiswaSTKIP Santu Paulus Ruteng Prodi
Bahasa dan Sastra Indonesia semester 7
Komentar
Posting Komentar