SURAT UNTUK TUHAN

SURAT UNTUK TUHAN
(Kladius Marsianus Juwandy)



Aku tak tahu arti memiliki ketika semua yang ku inginkan pergi dan hanya meninggalkan duka, aku tak tahu apa arti kebahagiaan ketika orang-orang yang aku cintai tak lagi di sisiku ( semua anggota keluarga yang telah meninggal dunia, Ende Tina, Mama Mena, Lopo Jandur dan semua keluarga saya yang tak sempat saya tuliskan). Mereka pergi tanpa pernah memberitahu kami kapan waktunya dia pergi. Semua berlalu begitu saja dan yang tersisa hanyalan selembar foto kusam dengan pose yang seperti foto pas.
Apakah ini yang dinamakan kehidupan, apakah ini yang dinamakan kebahagiaan. Kadang saya merasa Tuhan begitu baik padaku ketika kebahagiaan yang kecil dia titipkan padaku (beasiswa, prestasi, sahabat dan bakat0 yang  Dia berikan secara gratis padaku. Tapi, pada masanya pula aku meras bahwa tuhan begitu tak adil bagiku ketika Ende Tina ( Mama dari bapak saya Maksimus Jehandu) pergi dan meninggalkan dunia ini tanpa pernah memberi pesan padaku atau ayahku. Harus aku akui bahwa kehidupan bapak saya tidak seperti kehidupan orang tua kalian.
Sejak berumur 5-6 tahun, bapa saya harus meresakan kerasnya kehidupan dan kejamnya dunia ketika ayahnya meninggal dan Alm Ende Tina pergi meninggalkan bapak saya. Umur yang masih kecil serta sifat yang masih sangat polos itu tersimpan rasa rindu kepada Ibunya. Lebih menyakitkan ketika jam penerimaan rapor, bapak saya yang hanya didampingi oleh tantanya terkadang melepaskan kalimat yang menyedihkan tak kala melihat sahabatnya datang bersama kedua orang tua dan membeli pisang ramas untuk anaknya. “ Nia ise ende?”, kalimat yang sering dan selalu ditanyakan Bapak saya dulu. Namun rindu hanyalah rindu yang akan terus mengganggu, rindu yang dungu, rindu yang curang yang selalu bertambah tanpa tahu bagaimana cara menguranginya.
Waktu terus berjalan, matahari datang dan pergi, senja yang selalu memberi keindahan di sore hari dan rembulan yan menjadi kesatria malam kala kita masih terlelap. Kini bapak saya tumbuh menjadi seorang suami untuk Mama Sofia sinar serta menjadi ayah  dan dikarunia 5 orang anak saya (Arsi), Cecik,Ucik, Arce dan Nera.  Kini dia telah berkeluarga dan tinggal di Ngencung di rumah saudara kandung dari istrinya yaitu Om Lasarus Tamat. Saya masih ingat, sangat ingat ketika Ende Tina datang pertama kali menemui cucu-cucunya. Waktu itu saya sudah kelas 2 SD, beliau menangis dan memeluk saya serta bapa saya. Bingung ketika ucapan “Selamat siang” yang sering saya lakukan ketika pulang sekolah harus dijemput dengan tangis haru dan pada akhirnya saya sadar itu adalah tangisan kerinduan dan bahagia. Bapak saya saat itu pun menangis, saya merasa lucu ketika melihat lelaki yang sudah dewasa bahkan berkelarga harus meneteskan air mata. Dengan wajah polos saya bertanya “ ongga liong  hi bapa bo, co tara retang?”, maklum pada saat itu hanya ada satu hal yang membuat kami menangis karena dipukuli atau berkelahi. Tapi seiring berjalanya waktu saya sadar bahwa hebatnya seorang laki-laki bisa menangis buka bermaksud mendiskriminasi perempuan.
Kini kembali dia harus meneteskan air mata ketika saudara kandungnya dan satu-satunya saudara perempuan meninggal dunia. Saat itu saya sudah masuk SMP, saya bahkan tidak mengingat bagaimana rupa wajah mama kecil saya itu. Mungkin nasib saya yang memang belum beruntung, ketika kata “mama koe/ende koe” hadir dalam hidup saya hanya sebagai lambang karena tak ada sosok atau orang yang pantas saya panggil mama koe. Mama Mena?, tidak mungkin dia telah pergi dari dunia ini dan mungkin kami tidak pernah bertemu karena sejauh ingatan saya dia tak pernah menemui saya.
Tapi Tuhan masih menggenggam kami, ayah saya yang dikaruniai 4 orang anak perempuan seperti melepas kerinduanyaa akan sosok saudarinya. Adiknya Bapa Sensi hanya menggunakan HP unuk mengucapkan selamat Natal dan itu dilakukannya sekali setahun.
Kadang diumur saya yang semakin dewasa yang dengan pemikira yang matang selalu memikirkan tentang konsep keadilan menurut Tuhan. Sahabat saya kadang bahkan sering mengingatkan tentang kebaikan Tuhan. Satu kalimat geli yang sering mereka ucapkan adalah “sabar saja, Tuhan tidak pernah memberi cobaan melampaui batas manusia pasti Tuhan punya rencana Lain bagi hidupmu?”. terkadang saya tertawa ketika memikirkan kalimat ini. Satu hal yang sering saya tanyakan “Apa rencana Tuhan pada hidup saya ketika orang yang saya kasihi dan rindukan pergi dan takl pernah kembali”. Hal yang paling saya butuhkan adalah kebahagiaan, apa mungkin nantinya Tuhan akan menitipkan tiket Final Piala Dunia ketika Indonesia melawan Brazil di Partai puncak?
Tapi waktu mengajarkan saya apa arti kesabaran, apa arti kehilangan, apa arti kasih sayang. Kadang saya merasa seperti memaksakan kehendak Tuhah dan selalu memberikan apa yan saya inginkan. Tapi tak pernah saya sadari bahwa sebetulnya Tuhan selalu melindungi saya. Saya tak pernah menyadari bahwa ketika kita sedang mengalami masalah, kesusaan, penderitaan, selalu mempersalahkan Tuhan, dimana Tuhan, atau bahkan membeci Tuhan. Tapi apakah saya pernah bersyukur kepad Tuhan ketika diberikan rejeki, kenikmatan hidup dan nafas gratis yang Tuhan berika namun sayang saya hidup selalu mengharapkan gratisan Tuhan.
Akhirnya, saya hanya ingin menyampaikan satu hal, “untuk kamu yang satu di antara laki-laki yang pernah hidup aku memohon rangkullah keluarga kami, berikah kami kesehatan serta rejeki yan cukup, kami memohon hendaknya tak ajaibmu membasuk keluarga kami bapa Lasarus Tamat yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Aku tak memintamu menyembuhkannya tapi berikan dia kekuatan agar semangat menjalankan hidup yang hingar bingar ini. Itu saja amin”
Ruteng, 4 Juni 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami makna lagu "Who You Are" (Jessie J) Dalam Kaitannya Dengan Gaya Hidup Remaja Putri Manggarai

MENGANALISIS MAKNA LAGU PERAHU RETAK DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA

Pengadilan Cinta - Cerpen Karya Rista Damu