AKU INGIN

AKU INGIN
(Klaudius Marsianus Juwandy)
BUKAN TOKOH DALAM CERITA


Apa arti kebahagian ketika aku tak pernah tersenyum. Apa arti memiliki ketika aku selalu merasa kehilangan. Dan apa arti sebuah cinta ketika pahit selalu kudapat.
Butiran air mata jatuh perlahan dari mata Klau di sudut Gereja saat Misa Penerimaan Komuni Pertamanya. Tubuh mungil dihiasi pakaian serba putih dengan balutan sepatu hitam membuatnya gagah dari yang lain. Tapi bahagia itu ternodai oleh air mata`
“dimana ibu, dimana bapa?” tanya klau pada neneknya.
Diam tak berkata ketika kata-kata Klau terniang di telinga nenek Tea. Sejak Klau kecil hingga sebesar ini, dialah sosok penting dalam hidup Klau ketika Maria ibunya meninggalkan Klau bersama tangisan kerinduan. Sepotong gambar kusam dititipkan Maria untuk Klau.
Maria gadis cantik terlahir dari desa terpencil. Sejak kecil, desa Golo Pering menjadi sahabatnya untuk bermain. Hamparan desa yang indah yang dikelilingi oleh pepohonan bambu menemani hari demi hari yang dilalui Maria. Waktu yang terus berjalan, tahun yang terus berganti bersama mentari yang pernah mengingkari janji. Maria kini tumbuh menjadi gadis cantik. Wajah ayu dibaluti sikap lugu selalu ditunjukannya pada ibunya. Ayahnya meninggal 2 tahun lalu tepat pada saat umur Maria genap 22 Tahun. Kepergian ayahnya berdampak pada kehidupan keluarga Maria. Ibu yang kian menua terus bekerja demi kelansungan hidup Maria. Wajah yang mulai mengerut, rambut yang tak hitam lagi membuat Maria harus membantu untuk menghidupi keluargannya. Sejak kecil, Maria yang hidup di desa kecil selalu berangan akan pindah hidup di kota. Ekonomi yang kian memburuk membuat Maria memutuskan untuk mengikuti Sebet sahabatnya sejak kecil untuk bekerja di Kota Ruteng. Pertama kali menapaki kaki di kota Ruteng, Maria seakan kagum akan kehidupan kota. Gedung yang tinggi menembus langit berdiri di berbagai tempat. Kendaran-kendaraan mewah melintas di depan mata Maria. Kembali ingatan Maria akan kehidupan Desa Golo Pering. Tak ada gedung yang mewah, hanya sebuah Pustu Kecil. Kendaraan pun hanya satu milik Kepala Desa. Sebuah Oto Colt menjadi kendaraan satu-satunya di desa itu. “Cinta sebata Get” menjadikan oto itu berbeda dari yang lain.
Laju bemo mengantarkan Sebet dan Maria ke sebuah rumah besar. Bangunan yang berdiri di lahan dengan ukuran 100x200 itu telihat kokoh. Deretan pohon-pohon pinus mengiringi perjalan Sebet dan Maria memasuki kompleks perumahan paroki Bambu.
“Mulai sekang kita tinggal di sini, kita akan bekerja sebagai pemasak untuk Romo” jelas Sebet kepada Maria.
Dia hanya mengangguk, matanya masih melotot melihat keindahan di halaman Paroki Bambu itu. Bunga mawar menghiasi setiap jengkal tahan pastoran, burung merpati seakan melengkapi keindahan langit paroki. Warna yang abadi dipersembahkan Pastoran Bambu kepada Maria sebagai ucapan selamat datang dan selamat bergabung.
Di sudut Pastoran, seorang Romo sibuk menyiram Mawar putih kesayangannya. Aroma mawar putih seakan menenangkan Romo Ichan. Tapi tak seperti biasanya, sore ini dia mengabaikan keindahan senja. Matanya tajam melihat sesosok hawa saat dengan kesibukannya menyirami bunga-bunga di halaman. Detak jantung romo Ichan seakan terhenti saat melihat sosok itu. Nafasnya memburu bersama angin pegunungan yang berhembus menyelimuti Paroki.
Malam kini telah berkuasa, di sudut kamar romo Ichan sibuk melafalkan puisi Sapardi Djoko Darmono
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata-kata yang tak sempat diucapakan angin kepada awan yang menjadikannya tiada”
Tapi lafalnya terhenti ketika pintu kamarnya ketuk. Segera dia membuka pintu dan sesosok perempuan cantik berdiri tepat di depan pintu kamarnya bersama secangkir kopi.
Diam tak berkata tergambar pada pintu kamar itu ketika Romo Ichan dan Maria saling memandang.
Aroma kopi Khas Ruteng memecah keheningan itu, Maria pun masuk untuk meletakan secangkir kopi di meja dan segera pergi meninggalkan kamar dan segera ke dapur.
Tapi langkahnya terhenti ketika Romo ichan memanggilnya.
“siapa namamu, kenapa baru kali aku melihatmu? Tanya romo Ichan
“Maria, namaku Maria. Aku baru bekerja di sini” jawab Maria lalu pergi meninggalkan Romo Ichan
Gelisah tak menentu pada diri Maria. Bayangan sesokok pemuda memenuhi otaknya.
“kenapa dengan diriku ini, mengapa aku merasakan gelisah seperti ini. Bayang itu selalu saja mengikutiku. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tapi apakah mungkin?. Tuhan aku tak tahu harus berbuat apa untuk gelisah yang menentu ini” kata Maria yang tak sadar akan kehadiran Sebet.
Di sudut Paroki, romo Ichan pun merasakan gelisah yang tak biasanya. Senyum teduh yang digambarkan Maria memenuhi hatinya, kopi yang disuguhkan pun tak di minum. Suara-suara hewan malam memecah keheningan di Paroki itu
“Tuhan ada apa dengan hamba-Mu ini, kenapa aku merasakan detak jantung yang tak seperti biasanya. Senyum itu seperti membunuhku. Aku tak tahu rasa apakah ini” kata Romo Ichan
 “siapa yang engkau sebutkan itu Maria, apakah yang engkau maksudkan romo Ichan yang kau antarkan kopi tadi? Jangan engkau berharap lebih, mereka tak mungkin dan tak akan menikah apalagi denganmu. Kita hanya pekerja di sini jadi jangan berbuat yang tidak-tidak” ucap Sebet sambil mencuci piring
Hari demi hari pun berganti, mawar Putih yang di tanam Romo Ichan kini menampakan Kecantikan abadi. Dan terasa 2 tahun sudah Maria bekerja. Waktu yang lama juga untuk Romo Ichan memendam perasaan cinta pada maria. Senyum teduh selalu dipersembahkan Maria bersama secangkir kopi yang menemani senja romo Ichan.
Perasaan yang kian menggebu,rindu yang kian memuncak dan kagum yang selalu bertambah seperti menyiksa romo Ichan
“ Tuhan aku tahu engkau tak pernah memberi sebuah ujian melebihi batasku, tapi rindu tak bisa kubendung lagi, ini curang untukku,selalu bertmbah tapi tak pernah berkurang. Mengapa harus seperti ini jalanku. Aku bosan, aku tak sanggup lagi, Kali ini canda-Mu terlalu serius”
Perasaan yang tak bisa dibendung lagi, membuat romo Ichan harus memutuskan jalan hidup yang harus bertentangan dengan cita-citanya.
Di dapur yang berukuran besar itu,tertata rapi piring dengan motig burung cendrawasi. Maria sedang sibuk menyiapkan secangkir kopi untuk romo Ichan.
Dari jauh romo Ichan melihat Maria berjalan mengantarkan kopi. Langkah yang anggun dengan wajah yang ayu membuat romo Ichan tertegun melihatnya
“ayo Maria, masuklah dulu ada sesuatu yang ingin kusampaikan”
“kamu tahu sejak kecil aku selalu menyukai karangan Sapardi Djoko darmono. Bagiku dia itu hebat dalam menulis, karyanya selalu kubaca dan salah satu puisi yang paling kusuka adalah Aku Ingin” kata Romo Ichan
“lantas, apa hubungannya denganku’ jawab Maria polos
“ kamu tahu sejak pertama kali kita bertemu aku merasa telah jatuh cinta padamu. Senyumu yang teduh menghiasi hari-hariku, aku tahu ini sulit untuk hidupku, aku bersalah karena hal ini. Tapi ketahuilan aku juga manusia dan aku tak bisa membendung rasaa cintaku” ucap romo Ichan
“tapi..”
“sudah, aku tahu ini berat untukmu, tapi aku tak bisa berpaling lagi. Aku telah mencintaimu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata-kata yang tak sempat diucapakan angin kepada awan yang menjadikannya tiada. Itulah sepenggal puisi  Sapardi dan seperti itulah perasaanku padamu. Kamu tahu engkau seperti sebuah ketidakmungkinan yang selalu aku perjuangkan. Jangan cemas aku aku akan mencintaimu” kata romo Ichan bersaama sebuah pelukan erat yang kian membisu pada malam penuh bintang.
Hari demi hari dilalui Maria Dan Ichan. Cinta yang dirajut tumbuh bersama melati yang kian mewangi. Kisah yang ditanamkan terlukis indah. Merpati menjadi saksi bisu kisah cinta mereka tapi duri pun muncul dalam daging. Hampir setahun Maria dan Ichan merajut kasih dan banyak hal yang mereka lalui bersama.
Cemas pun muncul dalam diri Maria saat dirinya hamil dan telah berumur 4 bulan. Duka semakin lengkap ketika kabar akan perpindahan Romo Ichan memenuhi Pastoran Bambu.
“aku dengar engkau akan dipindahkan dari sini, apakah kamu akan meninggalkanku bersama buah hati yang ada dalam diriku?” tanya Maria
“sudah, jangan engkau menangis, itu duka bagiku. Aku pergi untuk kembali. Kita tak mungkin bersama,jalan kita telah berbeda. Aku tak mungkin melepaskan jalanku ini. Kuatkan dirimu, janganlah kau ceritakan pada anak kita tentang aku. Biarkan ini menjadi kenangan indah yang kita lukis di masa ini. Aku harus pergi. Selamt tinggal Maria jagalah anak kita” kata Romo Ichan seperti sebuah pedang yang tancapkan pada jantung Maria.
Tangisan kini mewarnai kisah hidup Maria, perut yang kian membuncit menankan akan hari kelahiran yang kian tiba. Hingga pada waktunya seorang bayi mungil lahir bersama hujan lebat. Tangisan bayi laki-laki itu memecahkan keheningan di malam Selasa.
Setelah kelahiran anakaknya, Maria pun memutuskan untuk meninggalkan anaknya bersama orang tua.
“ibu aku tahu keputusanku ini berat. Tap aku harus lakukan ini. Aku tak mau mengulangi kesalahanku ini di masa mendatang, aku titipkan Klau padamu, rawatlah dia hinnga pada masanya ibu ceritakan bahwa ayahnya seorang Romo. Dan sekarang aku harus pergi. Aku harus memulai hidup baru, aku akan masuk biara dan pergi jauh dari tanah ini. Rawatlah dia dan janganlah ibu memberinya ijin untuk menjadi pastor” kata Maria bersama tangisah perpisahan. Maria pun pergi meninggalkan Ibu dan anaknya. Jalan hidup yang berat akhirnya diputuskan Maria
“sudahkah Kalau hari ini, hari ini hari bahagiamu. Janganlah engkau tanya dimana bapa dan ibumu. Tak usah engkau risau sebab mereka pasti akan datang” jawab Nenek Dortea meyakinkan Klau
Dalam hati Dortea berkata” engaku baik nak, hiduplah dalam nama Tuhan. Engkau harus menjadi kebanggaan nenek, namun sayang hidupmu begitu pilu, ayahmu seorang pastor dan ibumu seoran suster”

Ruteng, 7 Mey 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami makna lagu "Who You Are" (Jessie J) Dalam Kaitannya Dengan Gaya Hidup Remaja Putri Manggarai

MENGANALISIS MAKNA LAGU PERAHU RETAK DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA

Pengadilan Cinta - Cerpen Karya Rista Damu