BIAS GENDER DALAM DUNIA PENDIDIKAN
BIAS
GENDER DALAM DUNIA PENDIDIKAN
(Klaudius
Marsianus Juwandy)
Kesetaraan gender menjadi topik yang
sangat hangat dibicarakan selama beberapa dekade terakhir. Hal ini dibuktikan
dengan munculnya teori-teori yang membela kaum perempuan dari pola pikir masyarakat mengenai kedudukan perempuan yang dianggap
lebih rendah dari laki-laki. Hal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh zaman
colonial yang pada saat itu hanya lelaki saja yang bersekolah dan secara tidak
lansung pengalaman tersebut membentuk
pola piker kita masyarakat bahwa hakikat perempuan lebih rendah dari
masyarakat. Namun kehadiran wanita perkasa yang sekaligus ibu dari kaum wanita
Indonesia yaitu R. A Kartini yang berusaha mengangkat derajat kaum wanita
akhirnya berhasil. Keberhasila tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori yang
diajarkan dalam dunia pendidikan dan disahkan dalam UUD RI.
Namun dalam prosesnya, dunia pendidikan
yang kita anggap sebagai dunia yang dapat mengangkat kesetaraan gender justru
berbuat sebaliknya.
Dalam buku cetak yang dipegang murid
sejak mengenyam pendidikan SD sampai SMA justru merendahkan kaum wanita dan
contoh yang dihadirkan pun dalam buku selalu berbias gender.
“ Bapa membaca koran dan ibu sedang
memasak”. Penggalan contoh ini secara kebahasaan dan struktur sudah benar
karena dalam kalimat tersebut terdapat subjek, predikat dan objek. Namun jika
berkaca dari sisi feminism, contoh diatas merupakan bentuk diskriminasi dalam
dunia pendidika. Contoh diatas secara tidak lansung mau menyampaikan bahwa
hakikat perempuan adalah di dapur dan atau rumah sedangkan hakikat laki-laki
adalah berkerja atau wilayah cakupannya lebih luas dari wanita. Sunnguh sangat
disayangkan jika hal ini tetap berlanjut mengingat perjuangan ibu kita R.A.
kartini yang sudah bersusuh payah mengangkat kaum wanita agar terlihat sama
kedudukannya dengan laki-laki.
Sebagai dunia pendidikan yang seharusnya
menjadi tempat yang membentuk pola pikir kita agar pandanagan-pandangan yang
menganggap wanita lebih rendah dari laki-laki perlaha hilang namun justru
berbanding terbalik dari harapan.
Sunnguh sangat disayangkan ketika buku
yang kita gunakan dan dianggap sebagai “gudang ilmu” justru menjerumuskan kita
pada pandangan yang menyesatkan.
Pertanyaan reflektif untuk kita, apakah
kesetaraan gender akan tetap diterapkan ketika dunia pendidikan sebagi salah
satu agen yang mengggapa wanita dan laki-laki sama justru mendiskreditkan salah
satu pihak?
Jawabannya ada pada diri kita sendiri,
jangan sampai contoh-contoh yang dimuat dalam buku pegangan siswa tidak mempengaruhi
cara pikir mereka terhadap kedudukan wanita
Solusi
Sebagai dunia pendidikan yang melahirkan kaum
intelektual dan penerus bangsa hendaknya mampu memilah buku yang berbau
diskriminasi serta member hukuman tegas terhadap percetakan yang menjual buku dan
berbau diskriminatif.
saluuut
BalasHapus