NAPAS KANFAS ANDREAS II

NAPAS KANFAS ANDREAS II

*Klaudius Marsianus Juwandy

Bukan Leonardo

“ini lukisan siapa” tanya gadis itu
“oh, itu. Milik Andreas. Pelukis bisu yang karyanya selalu diburu orang itu. Memangnya kenapa?” jawab Tiara sambil menyisir rambut
“ tidak, bisa kamu tunjukan lukisan lainya milik Andreas?” tanya gadis itu
“tidak banyak sih, hanya 5 lukisan saja yang saya dapat. Itu pun karena saya harus merayu seorang bapak tua untuk memberikan lukisannya kepadaku. Itu, aku pajang di ruang tamu” kata Tasya lanjut.
Dalam sekejap gadis itu telah menempatkan diri di hadapan lukisan-lukisan itu. Tasya kaget dengan sikap sahabatnya itu. Persahabatan yang mereka rajut sejak masa TK dulu hingga saat itu masih terawat begitu baik. mereka lebih dari sahabat, mereka adalah saudara.
Perlahan air mata jatuh dari mata gadis itu, rseperti terjebak dalam ruangan tanpa pintu. Hati hancur melihat lukisan-lukisan itu. Deretan lukisan pada dinding itu kembali menyuguhkan kisah yang telah lama dikubur gadis itu. Namun hari ini dalam sekejap Andreas justru menggalinya kembali dalam hitungan yang singkat.
“aku ingin bertemu dengannya” kata gadis itu tiba-tiba
“tapi, kamu kenapa, kenapa kamu menangis” tanya Tasya yang bingung dengan kejadian itu
“Tasya, kamu lihat. Lukisan itu, ya lukisan itu mirip puisinya yang sering ia kirimkan padaku lewat kantor pos dulu” jawabnya dengan air mata yang menari-nari di pipinya
“ya Tuhan, kenapa kamu masih mengingatnya. Dia telah pergi entah kemana, kamu hanya diberi harapan tanpa tahu kapan harapan itu terwujud. Kamu telah menjadi orang lain bagi kami. Kamu gila, yah gila. Setiap hari kerjanya hanya menangis. Sudah lupakan dia. Ingatlah dia sebagai sosok yang tak bisa engkau miliki. Kamu terlalu eg..”  kata Tasya yang tiba-tiba terhenti karena melihat gadis itu marah
“aku minta maaf, tak seharusnya aku berkata seperti itu” lanjut Tasya
“ tidak, kamu tidak salah. Aku juga tak menyuruhmu untuk bersamaku. Bagiku dia bukan hanya sosok lelaki bajingan, tapi lebih dari itu, dia adalah lelaki yang mampu memberiku napas dengan kata-kata. Aku akan tetap bertemu dengan Andreas, aku ingin menulis mengubah semua menjadi kata. Ya, aku ingin mengubah lukisannya menjadi kata” kata gadis itu
Malam semakin malam, Andreas masih saja sibuk dengan kesibukannya. Bulan itu dia masih sibuk mengubah kisah menjadi gambar. Tak seperti sebelumya, dia begitu sibuk. Namun masih dengan Andreas yang dulu. Tak berkata,tak bersuara bisunya kembali mati suri.
Hari itu Andreas bangun begitu pagi. Kopi, rokok dan peralatan lukisnya telah siap dihadapanya. Kepulan asap rokok dan aroma kopi pagi hari membawakan pagi yang begitu romantis bagi Andreas.
Di depan rumah dua orang gadis sedang merapikan rambut untuk bertemunya, gadis itu tak mau basa-basi. Baginya hari ini harus bisa bertemu Andreas, tapi bagi Tasya ini seperti potongan kisah perang antara Palestina dan Israel. Tasya telah mengingatkan gadis itu bahwa lelaki yang akan mereka temui adalah lelaki yang begitu misterius. Tak ada yang mau berteman dengannya. Suara menjadi barang yang paling mahal bagi Andreas. Tapi suara Tasya hanya di anggap sebagai angin lalu.
“Andreas, Andreas, Andreas. Mana Andreas” suara gadis itu tanpa menghiraukan sekitarnya.
Melihat hal itu, Tasya yang takut mencoba untuk menenangkannya tapi tetap tak berhasil.
“Tasya kamu tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab. Kamu tidak usah khawatir. Andreas, Andreas, aku ingin bertemu denganmu” kata gadis itu sambil memegang bahu Tasya, sesekali matanya melihat ke segala sudut rumah
Andreas yang duduk di tempat biasa dia melukis merasakan hal yang tak diinginkannya. Hal ini kembali mengingatkanya pada sosok gadis yang hanya mencubitnya lalu pergi. Dibawanya gelas kopi dan sebatang rokok itu sebagai teman untuk menghadapi orang yang tiba-tiba membuat kegaduhanya.
“pak, mana Andreas, aku ingin bertemu dengannya” kata gadis itu ketika melihat laki-laki menemuinya. Lelaki itu hanya menatap gadis berambut kriwil itu, sesekali diisapnya rokok sambil menikmati kopi yang telah hangat termakan waktu.
“punya mulut itu digunakan, orang tanya malah diam” bentak gadis itu yang sesekali merapikan kaca matanya. Mendengar perkataan itu Andreas kembali ke kursi tempat dia melukis.
Taya yang melihat kejadian itu hanya memukul dahi. Tak bisa dibayangkan lagi bahwa peperang Palestina dan Israel sepertinya akan terus berlanjut. Tanya pun hanya memberi tahu bahwa lelaki yang dibentaknya itu adalah Andreas. Mendengar perkataan itu gadis itu pun kaget dan segera menemui Andreas.
“aku minta maaf, aku tak terlalu emosi tadi. Aku sangat ingin bertemu denganmu untuk seseorang. Aku seorang penulis dan aku ingin mengubah kata dari lukisanmu” kata gadis itu
Andreas yang dengan segala kemisteriusannya hanya menatap sambil tersenyum dan kembali  menikmati sebatang rokok.
Gadis itu pun hanya diam melihat tingkah Andreas yang tak bersuara. Dari jauh Tasya hanya berharap semoga hari ini tak ada yang saling menyakiti dan menangis.
Hari semakin hangat, langit merah dan kepulan asap rokok terus mengalir. Kopi dan sepasang mahluk hanya diam menatap gelasnya masing-masing.
“bisa kita mulai” tanya gadis itu. Andreas yang disampingnya hanya sibuk memegang kuas dan mengecat lukisannya.
Lagi-lagi gadis itu marah dibuatnya dan berdiri meninggalkan Andreas. Di lihatnya dari jauh sebuah lukisan terpajang di sudut rumah, mungkin itu kamar Andreas. Tak butuh waktu lama gadis itu membuat sebuah puisi dari lukisannya. Amarah jelas diperlihatkan gadis itu. Dari jauh, rupanya gadis yang tadi memarahi Andreas menarik perhatiannya. Tak sadar kuas Andreas mengenai jenngotnya sendiri.
Tasya yang terpesona melihat lukisan di ruang tamu segera memanggil temannya untuk melihat lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan betapa indahnya ketika melihat Adam dan Hawa bercinta. Gadis tadi yang sibuk menulis puisi segera menemui Tasya.
“kenapa puisinya seperti ini, sama sekali tak sesuai dengan lukisan yang ku buat” kata Andreas tiba-tiba mengagetkan gadis itu.
“oh, akhirnya kamu mau bicara juga, terus kamu mau apa, mau marah?” jawab gadis itu
“kamu sehat?”  sindir  Andreas.
Senja itu pun akhirnya membawa kisah  baru bagi mereka, bukan hanya gelas kopi, rokok, perlatan melukis dan menulis tetapi kata. Kata yang memulai dan membawa mereka pada sebuah labirin yng mereka ciptakan sendiri.
Sore itu pun menjadi awal kata bagi Andreas setelah hampir 2 tahun tak ingin bicara. Awal yang baru pula bagi gadis itu untuk kembali menulis puisi setelah memutuskan tak ingin menulis lantaran di bunuh puisinya sendiri. Melihat mereka seperti membayangkan Palestina dan Israel melewati senja bersama sambil menikmati kopi dan penuh tawa.
Hari terus berjalan, matahari tak pernah ingkar janji. Berbagai karya lahir dari dua seniman ini dan selalu laris. Andreas yang dulunya meracik kopi sendiri kini terbantu dengan kehadiran gadis itu. Bahkan sesekali ketika kejenuhan menghampiri Andreas, dia sering melempar cat ke wajah gadis itu.
Atau saat-saat senja ketika tak lagi melukis Andreas menyempatkan diri untuk melukis gadis itu.
“kamu lihat, aku melukismu sore ini” kata Andreas
“apa, kamu bilang ini aku, kamu sudah gila Andreas. Kamu lihatkan rambutku Kriwil tetapi kenap dilukisan begitu lurus” jawab gadis itu dengan marah-marah
“kamu kan tidak tahu imajinasiku, ini ku gambar setelah membayangkanmu keluar dari salon kecantikan. Cantik bukan” jawab Andreas dengan sedikit senyum.
Hari itu kembali tawa menjadi keindahan bagi mereka. Semenjak memutuskan untuk kembali berbica begitu banyak hal yang dia ungkapkan. Pernah dia buat sebuah pantun untuk gadis itu saat malam hari. Malam itu gadis itu begitu sibuk. Kaca mata, pena, kertas dan lukisan ada di hadapannya. Dari jauh sebuah pantun yang dibuat Andreas dibaca. “i Have a pen, my pen is blue, i have a girl friend, girl friend is you”. Mendengar pantun itu, gadis yang sibuk menulis kembali melempar tawa dan sekejap kelelahan pun terbayar lunas.
Malam terus berganti, rembulan kadang menampakan diri, kadang bersembunyi di balik awan dan kadang hanya mengintip dari remangnya bintang.
Hingga pada suatu malam, gadis itu hanya duduk di teras bersama segelas kopi. Di kamar Andreas baru saja mengumpulkan beberapa lukisannya untuk dibuatkan puisi.
“dari semua lukisan yang ku buat, hanya kelima lukisan ini yang belum kamu buatkan puisi” kata Andreas
“ aku mau itirahat dulu. Kopi?” tawar gadis itu kepada Andreas
“boleh” jawab Andreas
Dalam sebuah kebetulan, gadis itu melihat potongan lukisan Andreas yang dibawanya tadi. Segera dia melihat kelima lukisan itu. Air mata kembali berderai ketika gadis itu melihat semua lukisannya.
“dari mana engkau dapat cerita untuk lukisan ini” tanya gadis itu
“memangnya kenapa” tanya Andreas
“jawab saja, dari mana” bentak gadis itu
“dari sahabatku, mau kuceritakan tentangnya?’ tawar Andreas
Wanita itu hanya mengangguk, Andreas pun menceritkan semua kisah dari sahabatnya itu.
“jadi begitu, dia seorang penulis juga sama sepertimu. Dia adalah penulis hebat untuk sebuah karya. Dai juga memiliki kekasih yang sangat dicintainya. Setiap hari ketika kami menghabiskan senja bersama, gadis itu menjadi topik yang selalu dia ceritakan kepadaku. Baginya gadis itu lebih dari segalanya yang ada di bumi. Hingga pada suatu hari, entah mengapa dia menitipakan sesuatu untukku. Sebuah buku bersama sebuah surat, dalam suratnya dia memintaku untuk mengubah semua cerita itu kedalam potongan-potongan gambar. Awalnya aku ragu tapi setelah ku baca, certita itu seperti sebuah kisah nyata yang telah ditulis oleh hati yang paling bersih. Dan harus ku akui itu adalah lukisan hebat yang pernah ku buat. Bahkan Negri Jiran pun akhirnya mengundangku hanya karena lukisan-lukisan itu” kata Andreas  semangat sambil mengisap rokok kadang juga senyum sendiri karena sesuatu hal yang tidak diketahui oleh orang lain atau karena mengingat kisah mereka bersama sahabatnya.
Gadis itu hanya menangis, menangis dan menangis. Aroma kopi yang tak lagi panas hanya dibiarka begitu saja. Gelas hanya diam ketika tak tersentuh bibir
“siapa namanya”tanya gadis itu menatap Andreas
“ namanya, Leonardo” kata Andreas dan gadis itu bersamaan.
“kamu kenal Leonardo?” tanya Andreas yang kaget mendengar gadis itu mengucapkan nama temannya
“ya aku tahu, sangat tahu. Tak ada yang tak kuketahui dari Leonardo. Dia sering mengirim puisi untukku dan aku pun sering juga mengirim puisi untuknya. Dia adalah lelaki yang memporak-porandakan hatiku. Dia kekasihku, tapi sayang dia pergi entah kemana. Meninggalkanku bersama karya yang ketika ku baca harus mengundang air mata. Kamu bisa membawaku untuk menemuinya?’ Tanya gadis itu
‘jadi, jadi kamu adalah gadis yang sering dia ceritakan. Elisabet, ya itu nama yang sering dia ceritakan padaku. Besok aku akan membawamu untuk menemuinya” kata Andreas.
Malam itu tak ada lagi tawa. Di kamar Elisabet hanya menangis dan terus menangis membayangkan hari esok. Hari yang paling dai tunggu selama hampir dua tahun.
“kamu sudah siap” tanya Andreas. Elisabet hanya menganggung
Tak butuh waktu lama mereka pun sampai pada rumah Leonardo. Kembali Elisabet menangis di atas makan Leonardo. itu rumahnya sekarang.
Andreas yang melihat hal itu hanya coba menguatkannya dan mengatakan bahwa ada sebuah surat dan kisah yang Leonardo titipkan padanya untuk diberikan pada Elisabet.
*****
Di dalam Rumah Oktavinus sibuk mencari  sesuatu. itu adalah barang berharga yang dititipkan ayahnya dan hari ini lenyap entah di telan bumi.
Di sebuah taman Robertus yang seorang mahasiswa sibuk membawakan sesuatu. begitu kmenikmati hari yang begitu cerah.


Taga, 4 Januari 2018



baca juga:
NAFAS KANFAS ANDREAS I
*penulis adalah mahasiwa STKIP Santu Paulus Ruteng Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami makna lagu "Who You Are" (Jessie J) Dalam Kaitannya Dengan Gaya Hidup Remaja Putri Manggarai

MENGANALISIS MAKNA LAGU PERAHU RETAK DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA

Pengadilan Cinta - Cerpen Karya Rista Damu