RANJANG KUSAM
RANJANG KUSAM
(Klaudius Marsianus Juwandy)*
Aku tak penah bertanya mengapa kopi itu pahit, aku tak
pernah berdebat tentang siapa yang menciptakan bayang-bayang aku atau matahari,
dan aku tak pernah bertanya mengapa kopi itu begutu nikmat ketika disuguhkan
saat senja. Tapi kali ini, aku ingin bertanya satu hal padamu saat ini, mengapa
engkau mempertemukan kami dalam sebuah kebetulan lantas menyatukan kami dalam
sebuah kesepakatan. Ah aku sudah bosan dengan sandiwaramu, selalu mempesulitku
tanpa pernah engkau bertanya pada dirimu apakah aku pernah sekali-kali bermain
lakon denganmu?
Tapi malam ini aku ingin bercerita banyak denganmu, ku
harap Engaku memiliki ebih banyak waku bersamaku, sebab telah ku siapkan
sepasang lilin dan patung-Mu yang terbuat dari kayu. Aku berharap Engkau mau
mendengarku malam ini.
Malam ini aku sengaja tak tidur, kedua mataku seperti tak
sejalanku. Sejak tadi bantal yang selalu menemaniku seperti tak bisa
mengayunkanku dalam melodi kelelapan. Kali ini kedua mata ini telah menang
melawan malam. Akhirnya aku memutuskan untuk sedikit meluangkan waktu untuk
berbicara denganmu tentang aku, Kamu dan dia yang telah pergi.
Tap maaf, aku harus membuka diskusi ini dengan kebencian
karena aku begitu marah pada-Mu. Lihatlhan warna kamar yang pucat ini begitu menyiratkan suatu kehilangan,
juga segala yang ada di dalamnya, seperti
lampu yang menyala seadanya.
Sunyi bukan? kesunyian itu, mengingatkanku pada seoang teman yang membuat malamku jadi begitu
menyenangkan.
Tapi itu semua berubah ketika Engkau memisahkan kami dengan cara-Mu yang begitu
licik. Sebab itulah aku mengajakmu berdiskusi malam ini agar kau tahu bahwa aku bisa sangat cemas
hanya karena sebuah kamar
dan kesunyian.
Tapi,
malam ini aku sedang mendekam di kamarku. Kamar dengan warna hijau tua dan tirai yang kusam ditimpa cahaya bulan yang sekali-kali melambai-lambai keluar
jendela. Perlahan angin
malam menerpa tubuhku, begitu dingin.
Sedetik
perhatianku tertuju pada sepasang
burung
hantu yang terlihat di kejauhan. Mereka bertengger di sebuah pohon rindangdan sesekali mengeluarkan
suara yang merdu. Begitu romantis ketika beberapa helai daun gugur saat dengan cueknya
mereka bercinta. Sungguh, perasaan yang sama sekali berbeda dengan yang kudapati
di kamar pucat itu.
Kamu tahu, hal ini yang memaksaku untuk meteskan air mata
lantaran kembali mengingat gadis yang kucintai saat kami lalui malam begitu
mesra. Maka
sebelum aku hendak mengingatnya lagi aku memutuskan untuk mengajakmu berbicara malam ini tentang gadis itu.
Kupikir
aku mesti mengatakan
hal ini kepadamu. Memang tak penting tapi agar engkau tahu betapa gelisah dan takutnya aku pada
sebuah kamar.
Malam ini memang puncak rinduku pada dirinya, entah
mengap pikiranku seperti mengingatnya. Tak seperti biasanya, aku begitu merindukan sosok gadis itu hadir
dalam ranjangku malam ini. Biasanya kami berdua melewati malam yang bertabur
bintang dalam selimut yang sama. Indah bukan? Itulah hal paling indah ketika
Adam dan Hawa bertemu.
Tapi kisah itu seperti terhapus dan berakhir ketika gadis
itu memutuskan untuk mencarimu. Dia tak mengajakku dan hanya sendiri.
Aku begitu berdua atas kepergianya, tak menitip surat
hanya seutas tali yang melilit lehernya.
Dalam kamar ini kami bercinta dalam kamar ini cinta kami
harus berakhir. Dia meninggalkanku dengan sisa perasaan di ujung nafsu dan dia
pergi bersama sebuah kisah yang tak pernah ku tahu.
Kamu tahu, pernah sesekali kakek tua dengan suara
terbata-bata bertanya padaku “ mengapa gadis itu bunuh diri” , kadang ketika
mendapati pertanyaan itu amarahku sekejap memuncak tetapi dengan penuh canda
aku menjawabnya “ranjang kusam miliku telah bosan dengannya, dia meminta cerita
baru dengan lakon baru”.
Aku harap kamu tak pura-puar sedih mendengar keluh
kesahku. Dan ku berharap juga permataku telah berada di sisi kanan-Mu.
Dan,
ketika doa
ini selesai, dari atas meja di sisi jendela, aku meraih sebuah buku puisi milik
seorang penyair dan membacanya dalam keheningan –puisi yang juga bicara tentang
kehilangan dan cinta. Seperti sepasang kekasih yang bercinta tanpa henti
hingga malam bertambah malam . Aku pun mengingatnya sekali lagi.
Iteng, 16 November 2017
*penulis adalah mahasiswa STKIP Santu Paulus Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Komentar
Posting Komentar