KOPI DAN PAHIT
KOPI DAN PAHIT
(Klaudius Masianus Juwandy)*
Suara gemercik hujan menggoyahkan lamunanku.
Seketika ingatan itu terbuang dengan sendirinya. Bukan tanpa sebab, tapi kali
ini tubuhku memilih diam. Di depanku dua manusia sedang tertawa bahagia. Aku
tahu, mereka pasti mengira dunia ini milik berdua. Bukankah begitu yang namanya
cinta?
“Pa, kopi susunya dua” kata kedua pasangan itu tanpa
mempedulikan yang lain
“sabar ya, kalau kamu Fan pesan
kopi apa?” jawab pa Soni sang pemilik kedai kopi sambil mendekatiku
“seperti biasa om” jawabku singkat.
Dari sudut kedai, pa Soni masih
menatap Irfan dengan penuh kesedihan.
“dasar anak muda, begitu rapuh
hatinya terhadap sebuah cinta” guman pa Soni dalam hati dan mempercepat
langkahnya untuk mengantarkan kopi pesanan pelanggan
“Secangkir kopi pertama di pagi hari, tak lagi panas
seperti biasanya. Menjadi hangat seperti kamu ketika tahu bahwa ada sosok yang
menyukaimu. Bagi sang waktu, merubah sikap seseorang terasa begitu mudah.
Semudah merubah panas menjadi hangat seperti kopimu di pagi hari. Kamu memang
begitu, tak suka meminum langsung ketika panas, namun hanya menghirup perlahan
aromanya, lalu dibiarkannya mendingin begitu saja.”
Kembali kalimat
itu mengusik Irfan saat bibinya menyentuh cangkir bermotif mawar itu. Kalimat
itu yang sering diucapkannya ketika meracik kopi untuk Irfan. Entah apa maksud
semua itu tetapi yang jelas kalimat itu selalu diucapkannya setiap saat.
“sudah tidak menulis puisi lagi
Fan” tanya Pa soni mengagetkan Irfan
“tidak lagi pa, saya ingin
istirahat dulu untuk beberapa waktu” jawab Irfan sambil menikmati tiap
tegukannya.
“oh begitu, lalu bagaimana
hubunganmu dengan Santi?” tanya pa Soni dengan nada yang pelan
“haha, kami sudah selesai om, dia
hanya sebuah kenangan dalam kehidupan saya” ajawab Irfan dengan sedikit senyum
duka yang dia berikan
Wajah Santi, ya wajah itu seingatnya, tidak ada yang lebih
cantik dari Santi, walaupun melati sedang mewangi, kupu-kupu sedang beterbangan, dan
mawar-mawar sedang merekah, tidak ada yang lebih menawan dari diri wanita yang
ia puja, meskipun senja tengah merona, ataupu hujang yang datang bersama
pelangi.
Itulah yang selalu dia rindukan.
Kembali dia teringat akan waktu
yang mereka habisi bersama di kedai ini
“ kamu pesan apa Irfan” tanya
Santi
”Secangkir kopi hitam” jawabku tanpa melihat deretan minuman yang
tertulis dalam menu. Secangkir kopi hitam di siang hari, sebagai teman untuk
menghabiskan waktu bersamanya
Pergi ke kedai di pagi,siang,sore atau pun di malam hari, duduk bersama, hanya ditemani secangkir kopi sambil
menulis puisi seolah
sudah menjadi sebuah tradisi bagi kami, aku dan Santi.
“mengapa selalu kopi, mengapa
bukan teh atau yang lain Fan. Apa memang kopi menjadi sahabat seorang penulis
puisi” tanya Santi
“bukan itu, karena kopi adalah
aku dan aku adalah kopi” jawabku santai
“ah kamu, sudah berapa lama kamu
menyukai kopi Fan” tanyanya lagi
“ah, tidak terlalu lama, yang
jelas dia sudah menjadi teman hidup saya yang tidak bisa saya lewatkan begitu
saja” jawabku
“ya ya ya, lalu kenapa kopi dan
kedai ketika denganku?” tanyanya sambil mengangguk
“tidakkah kamu tahu? Kopi ini hanya sebuah celah bagiku
untuk sedikit saja mendapatkan perhatian darimu? Karena setidak-tidaknya setiap
hari kamu akan meluangkan waktumu dan menatapku dari seberang
meja sambil
tersenyum.”
Jawabku sambil memegang bahunya.
Santi pun
memeluku dengan penuh kehangatan, hujan dan petir mengiringi kisah kami waktu
itu, yah waktu saat aku dan dia menjadi kami.
Pagi hari yang cerah dari balik jendela sambil
memandang sepasang burung yang dengan suara minornya menyambut mentari pagi. Bunga melati
yang perlahan mekar sambil menantikan kapan mentari menyembul
sempurna dan tak lagi malu-malu. Kadang sinar pagi matahari menyakitkan, karena
itu berarti sudah ada satu hari lagi yang harus kulewati dengan harapan penuh
bisa bertemu kembali dengannya.
“kopi” kembali
kata itu muncul dalam benak Irfan. Kata yang selalu menjadi sahabat dalam
hidupnya. Segera diambilnya topi kodok yang menutup rambut gondrongnya yang
kian tak terawat dan bergegas menuju kedai pa Soni.
“pa, seperti biasa” kata Irfan
kepada pemilik kedai
“ ok Fan, sabar ya” kata pa Soni
yang sudah tahu betul pesanan Irfan
“pa, siapa pemuda itu, setiap
hari saya seing melihat dia mengahbisakan waktu di kedai ini dan tempat
duduknya pun selalu di pojokan sana” tanya seorang pelayan baru kepada pa Soni
“namanya Irfan, dulu dia penulis
puisi dengan tema kopi yang paling hebat. Karya-karya bahkan samapi keluar
negri, namun sekarang dia sudah tak lagi menulis karena kekasihnya menikah
dengan orang lain apalagi kedua orang tuanya telah meninggal. Sudah-sudah,
sekarang mending kamu cuci gelas yang kotor biar saya yang bawakan minuman ini
untuknya” jawab pa Soni
“fan ini kopinya” kata pa Soni
sambil meletakan cangkir kopi di sudut kedai itu
“terima kasih om” jawab Irfan
sambil mengisap rokok kreteknya, asap pun mengepul seakan memenuhi seluruh
teras kedai yang berukuran 7x9 meter itu.
“nak, boleh bapa tanya sesuatu”
kata pa Soni sambil nearik salah satu kursi plastik dari kolong meja
“silakan pa, tanya saja” jawab
Irfan dengan tangan yang sambil mengetuk meja
“tapi sebelumya kamu jangan
tersenggung ataupun marah, bapak hanya tanya, apa seberarnya yang terjadi
padamu dan juga Santi, mengapa hungungan kalian harus berakhir?” tanya pa Soni
penasaran
Irfan hanya tertundung dan
sesekali mengangkat dagunya sambil tersenyum petanyaan itu seperti tak pernah
didengarnya, matanya hanya memandangi burung-burung yang hinggap di dahan
beringin depan kedai kopi pa Soni.
Perlahan Irfan menatap pa Soni,
sedikit senyuman dilemparkan pada pemilik kedai yang paruh baya itu, matanya
metap tajam. Tak lupa tangan kananya mengambil cangkir diatas meja.
“Secangkir kopi di pagi hari ini, satu cara untuk mengingatkan bahwa
panasnya sesapan pertama jauh lebih nikmat dibanding dinginnya cangkir tanpa
isi. Secangkir kopi yang mengingatkan, bahwa jauh lebih nikmat menghabiskan pagi berdua dibanding seorang diri.
Panasnya cinta, dinginnya hati, terasa biasa bagi mereka yang sudah terbiasa.
Seperti halnya sebuah cinta, akan hadir karena terbiasa. Begitu pula rasa
sakit, akan terasa biasa ketika itu sudah hal yang biasa. Tentang sebuah rasa diabaikan, dan kini yang menyakitkan adalah sebuah penyesalan. Penyesalan karena
mengabaikan. Seperti halnya kebiasaan lama, penyesalan selalu datang di akhir
cerita” jawab Irfan singkat sambil menghisap kretek yang kian habis dimakan waktu
“apa, penyesalah kamu bilang,
kamu masih mengatakan menyesal meninggalkannya. Bapa heran sama kamu, masa
mudamu harus hancur seperti ini” kata pa Soni yang menyesal mendenga kata-kata
Irfan. Lelaki paruh baya itu memang banyak mengetahui tentang hubungan mereka.
Kedai miliknya menjadi saksi bisu saat pertama kali Irfan yang dengan kaca
matanya duduk dipojokan kedai sibuk mengatur kaca mata bulatnya sambil menulis puisi
dan tiba-tiba seorang gadis lugu nan cantik meminta agar duduk bersama. Saat
itulah irfan dan Santi saling jatuh cinta. Sore dengan hujan begitu lebat bukan
saja membawakan basah tetapi menyatukan kepingan hati yang telah bertemu
pasangannya.
Indah memang
ketika kembali mengingat kenangan itu. Gadis lugu yang yang rambutnya kadang
luruh diujung dagu bila tertundung mencuci gelas di kedai.
“Tuhan memberikan kita rasa agar kita dapat merasakan
semua rasa yang ada. Baik itu rasa suka, duka, sedih, kecewa, sakit hati,
bahagia, bangga, frustasi atau kecewa. Semua rasa itu bukan” jawab
Irfan singkat
“tapi, jika Tuhan menghendaki sebuah
pertemuan , bagaimanapun caranya itu pasti terjadi bukan?” tanya pa Soni
yang semakin emosi dengan tingkah Irfan yang semakin ambigu
“cukup, cukup sudah kita membahas
tentang masa lalu. Aku tahu ini sulit. Jangan biarkan aku kembali bermsuh
dengan masa lalu. Aku sudah berdamai dengannya dan biarkan di bahagia bersama
keluarga kecilnya yang baru. Melihat dia tersenyum itu sudah cukup bagiku.
Bukankah itu cinta yang sesungguhnya” jawab Irfan sambil menikmati kopi
“tidak, kamu egois Fan, hanya
memikikan dirimu sendri tanpa peduli dengan Santi. Kamu meninggalkannya begitu
saja dan menyuruh sahabatmu sendiri untuk menikahinya. Ya egois, kamu memang
egois” jawab pa Soni dengan nada yang memecah keheningan kedai itu
Diam memangku
kata pada batas bibir saat Irfan dengan kalimat yang diucapkan lelaki paruh
baya itu, kembali kisahnya bersama Santi hadir dalam ingatannya
“akhir-akhir aku lihat kamu tak
lagi menulis puisi dan terima kasih juga karena kamu selalu hadir meluangkan
waktu untukku” kata Santi sambil mencubit lengan Irfan
“kamu tahu, makan,tidur, dan kopi
adalaha tiga hal yang tidak penah aku lewati. jika aku melewatkan ketiga hal ini
hanya untukmu, jadi jangan tanya lagi seberapa penting dirimu untuku” kata
Irfan singkat sambil mengusap rambut Santi yang bersandar dilenganya
“tapi sebelumnya ada hal penting
yang ingin aku sampaikan kepadamu” lanjut Irfan yang kini lebih serius dan air
mata yang perlahan jatuh diatas pipinya
“kamu kenapa Fan, tidak biasanya
kamu seperti ini” tanya Santi yang kini menatap Irfan sambil memegang kedua
pipinya
“saya,saya hanya ingin kita
berdua mengakhiri hubungan ini, saya merasa kita tidak bisa untuk bersama” kata
Irfan sambil memegang kedua tangan Santi yang kini semakir bergetar
“kenapa, kenapa harus begini”
tanya Santi pelan, air matanya jatuh berderai membasahi pipinya yang kian
memerah
“aku bukan lelaki yang pantas
untukmu, aku berharap kau bisa terima ini” jawab Irfan singkat yang kini tak
lagi menatap Santi
“ apa? Kamu jahat, kamu egois.
Mengapa kamu lakukan hal seperti ini dalam hidup saya. jahat, ya kamu jahat”
jawab Santi sambil memukul dada Irfan
“tidak, kita memang harus seperti
ini. aku mencintaimu sebagai seorang gadis yang pernah aku cintai tapi bukan
untukku” jawab Irfan sambil tersenyum, senyuman yang senada dengan air mata
yang kian menari pada pipi dan dagu
“baiklah kalau itu maumu, jangan
pernah lagi kau tampakan wajahmu di depanku.
Semoga kelak kita bertemu pada
sebuah kebetulan, yang akan buat engkau meneteskan air mata lagi” jawab Santi
tegas
“terima kasih, jaga dirimu untuk
yang bukan aku” kata Irfan sambil tersenyum, kini kakinya beranjak pergi dari
sudut kedai Pa Soni
Waktu cepat berlalu. Kemarin adalah
sebuah kenangan. Hari ini adalah kisah yang harus kembali diukir. Irfan
yang dengan keambiguannya masih meutup dan merahasiakan alasan dasarnya
meninggalkan Santu. Meski dalam sebuah kebetulan
“Seperti halnya secangkir kopi hitam tanpa gula, kau
takkan pernah tahu rasa pahitnya tanpa pernah kau meminumnya. Begitu juga soal menunggu, kau
takkan pernah tahu betapa pahitnya sebuah arti kata menunggu. Menunggu itu
bukan soal kesabaran, tapi juga soal kepastian. Kepastian sebuah jawaban dari
sebuah pertanyaan “Apakah layak, dia menunggu selama itu?”kata pa Soni kepada Ifran. Kini lelaki paruh baya
itu tak lagi mempertanyakan alasan mendasar yang ada pada diri Irfan untuk
meninggalkan Santi. Baginya itu adalah kisah yang terjadi dalam kedainya dan
diingat hingga dia mati nanti.
Pagi yang indah di
hari Minggu, matahari kini tak lagi malu-malu menunjukan kuasanya. Burung
gereja berterbangan di atas awan, merpati sibuk mematuk makanan yang ada di
halaman rumah, sedang di taman seorang nenek paruh baya sibuk merawat mawar
agar tak mati tanpa memikir tentang hidupnya sendiri. Irfan dengan topi
kodoknya keluar dari balik pintu.
“nek, tong rawat bunganya aku mau
ke kedai pa Soni? Kata Irfan sambil berjalan menujun kedai.
Setelah kejadian beberapa bulan
lalu di masih saja menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi.
“pa seperti biasa, kopi satu”
kata irfan kepada pa Soni yang secara kebetulan bersaan dengan kalimat seorang
wanita.
Irfan coba berpaling melihat asal
suara itu, pelahan dan lagi-lagi air matanya jatuh membasahi pipi
“santi, apa kabar, lama tak
melihatmu?” tanya Irfan gugup sambil mendekati gadis tadi yang tak lain adalah
Santi
“Irfan, kamu apa kabar, aku
baik-baik saja, aku juga baru saja menikah” jawab Santi
“suamimu mana, selamat atas
keluarga barumu’ jawab Irfan pelan
“ itu dia” jawab Santi sambil
menunjuk Afin yang duduk di tempat biasa Irfan
“kamu tahu, dia juga memliki hibi
yang sama dengan kamu, dia sangat meyukai kopi” lanjut Santi dengan sedikit
senyuman yang dia berika pada irfan.
Senyum, yan senyum itu, kembali
menghantuinya.
*Mahasiswa STKIP Santu paulus
ruteng Prodi Dikbindo Semester VII
Taga, Selasa, 05 September 2017
Komentar
Posting Komentar