menyoroti perubahan dunia pendidikan manggarai dalam UUPA

MENYORITI PERUBAHAN DUNIA PENDIDIKAN MANGGARAI DALAM UU PERLINDUNGAN ANAK
(Refleksi Tentang UU PA yang “Terlalu Jakarta Sentris” Untuk  Siswa (Wilayah) Manggarai)
Oleh: Klaudius Marsinus Juwandy

Beberapa bulan terakhir, dunia pendidikan sangat disoroti berbagai media lantaran seorang guru SMP di Kabupaten Bantaeng yang ditahan atas tuduhan melakukan kekerasan fisik terhadap muridnya. Sebelum berita tersebut ramai di media, muncul juga berita seorang guru di Sulawesi diadukan melakukan kekerasan psikis ke polisi gara-gara mengingatkan siswanya yang membuang sampah sembarangan. Dan beberapa tahun yang lalu, di Majalengka, seorang guru dianiaya oleh orang tua siswa dan mendekam di penjara gara-gara mencukur rambut siswa yang gondrong.
Para guru yang melakukan kekerasan biasanya diadukan ke aparat kepolisian dan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA seolah telah menjadi “payung hukum untuk siswa dan siswa yang nakal” dan alat untuk melakukan kriminalisasi bagi guru. Hal ini pun tidak lepas dari pemaknaan HAM yang kebablasan pasca bergulirnya arus reformasi. UUPA seakan menjadi momok yang menakutkan bagi pahlawan tanpa tanda jasa dalam proses memanusiakan manusia.
Pasal yang biasa menjadi rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru adalah Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Adapun jenis-jenis kekerasan tercantum pada pasal 69, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Sedangkan pada situs Wikipedia disebutkan ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu : (1) pengabaian, (2) kekerasan fisik, (3) pelecehan emosional/ psikologis, dan (4) pelecehan seksual anak.
Isi UUPA di atas secara tidak lansung mempersulit guru dalam proses pendidikan. Guru harus bekerja ekstra tanpa ada unsur kekerasan dalam duna pendidikan.
Hal ini pun menyebar keseluruh pelosok indonesia termasuk wilayah Manggarai. Jumlah masyarakat yang cukup banyak dan berbagai kebudayaan yang indah menghiasi wajah Manggarai.
Dunia pendidikan yang masih dalam proses perkembangan dan kurangnya tenaga pendidik menjadikan salah satu alasan wilayah Manggarai kalah bersaing dalam dunia pendidikan.
Kekerasan dalam dunia pendidikan di wilayah Menggarai menjadi hal yang biasa karena tanpa kekerasan maka proses pembelajara menjadi terhambat terutama bagi siswa yang nakal  di wilayah Manggarai.  Kekerasan  dalam metafora yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan baik secara fisik maupun psikologis
Tindakan hukuman disiplin yang dilakukan oleh guru, yang pada waktu dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai melanggar HAM. Akibatnya, guru seperti menghadapi dilema, di satu sisi dia harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, sementara disisi lain, khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.
Yang lebih meyedihkan ketika orang tua murid tidak bisa membedakan antara tegas dan keras. Hal ini perlahan akan menurunkan kualitas pendidikan karena kinerja guru yang harus menurun karena UUPA.
Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut dibiarkan saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka semakin seenaknya melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.
Proses pendidikan yang seharusnya meliputi tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, lebih dominan pada ranah pengetahuan. Akibatnya, banyak anak pintar tapi sikap dan perilakunya kurang baik, jumlah kenakalan remaja semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan, bahkan sudah masuk ke kategori tindakan kriminalitas, seperti mencuri, merampok, menganiaya, memerkosa, bahkan sampai membunuh.
Solusi
Lembaga pendidikan terkait (SD,SMP dan SMA) harus tegas dengan orang tua murid yang terlalu jakarta sentris
Setiap orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah tentunya berharap anaknya diperlukan baik oleh seluruh warga sekolah khususnya guru. Dengan kata lain, orang tua berharap anaknya merasa nyaman di sekolah. Sekolah dapat menjadi rumah keduanya, dan guru diharapkan berperan sebagai orang tua siswa di sekolah.
Pertanyaan refleksi untuk kita (guru dan calon guru) apakah siswa sudah menciptakan lingungan yang aman untuk proses pembelajaran di sekolah?
Seharusnya, lembaga pendidikan harus tegas dengan siswa dan orang tua. Lebaga pendidika bersama yayasan harus mengeluarkan aturan bagi siswa baru. Orang tua harus tahu bahwa ketika anaknya mesuk di di salah satu sekolah maka siswa tersebut harus mengikuti semua peraturan disekolah tersebut tanpa ada campur tangan dari pihak lain.
Yang mesti kita sadari, Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) pada dasarnya bertujuan baik, yaitu untuk melindungi anak dari tindak kekekerasan dan kesewenang-wenangan. Walau demikian, UUPA jangan sampai menyandera guru dalam mendidik anak didiknya. Berikanlah kembali otonomi mendidik kepada guru. Saya yakin bahwa setiap guru memiliki harapan agar setiap anak didiknya menjadi anak yang cerdas, terampil, dan memiliki budi pekerti luhur.
Perlu adanya komunikasi yang baik antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Sosisalisasikan tata tertib sekolah, jika ada masalah yang menimpa anak didik di sekolah, kedepankan penyelesaian secara damai atau kekeluargaan, dan sebisa mungkin hindari penyelesaian secara hukum.
Cancar 24 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami makna lagu "Who You Are" (Jessie J) Dalam Kaitannya Dengan Gaya Hidup Remaja Putri Manggarai

MENGANALISIS MAKNA LAGU PERAHU RETAK DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA

Pengadilan Cinta - Cerpen Karya Rista Damu